PGI: Hentikan Hukuman Mati


Persekutuan Gereje-Gereja Indonesia (PGI) menghimbau Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil inisatif dan langkah-langkah strategis untuk menghentikan praktik hukuman mati di Indonesia. PGI memandang hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Kehidupan, menurut PGI, adalah pemberian dan ciptaan Tuhan, sehingga hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya.

Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow mengatakan, Gereja-gereja memahami bahwa negara menjalankan dan menegakkan hukum adalah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam kerangka ini, menurut Jeirry, hukuman diharapkan dapat mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut.

Hal itu antara lain yang dicerminkan dengan penggantian kata “penjara” menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP). Oleh karena itu, kata Jeirry, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar.

“Dalam hal hukuman mati, peluang untuk memperbaiki diri ini menjadi tertutup, selain menimbulkan kesan bahwa sanksi hukuman mati merupakan “pembalasan dendam” oleh Negara,” kata Jeirry dalam rilis pers, Rabu (3/8/2016) di Jakarta.

Jeirry lebih lanjut menuturkan, hukuman mati bisa dinilai sebagai keputusasaan Negara yang diberi dan memiliki kewenangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, teratur dan beramrtabat melalui penggunaan perangkat dan aparat hukum yang dibuatnya.

“Bila hukuman mati ini dipertahankan, maka akan terlihat adanya frustasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustasi itu dilampiaskan kepada hukum,” tuturnya.

Jeirry mengingatkan, perkembangan peradaban manusia telah mendorong negara-negara di dunia yang sebelumnya mempraktekkan hukuman mati meninjau ulang pemberlakuannya.

“Terdapat kecenderungan yang semakin besar dari berbagai Negara yang beradab untuk mencabut hukuman mati dari sistem peraturan perundang-undangan mereka, atau setidaknya dalam bentuk moratorium eksekusi hukuman mati,” ujarnya.

Hal itu, menurut Jeirry, didorong oleh keraguan mengenai efek jera hukuman mati sebagaimana maksud diterapkannya hukuman itu sebelumnya.

Ditambahkan Jeirry bahwa dalam konteks Indonesia yang masih diliputi permasalahan berhubung dengan proses penegakan hukum, eksekusi hukuman mati tidak akan pernah bisa dikoreksi kembali karena sudah berakhir.

“Kita mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkracht ternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam putusan hukum tersebut, semisal salah orang, pengadilan yang tidak adil, dan lain-lain,” ujarnya.

“Dalam hal demikian, sangat berisiko menjalankan eksekusi hukuman mati, jika seandainya putusan hakim yang dijatuhkan ternyata di kemudian hari keliru,” tambahnya.

Selain itu, lanjut Jeirry, eksekusi hukuman mati juga akan memutus mata rantai penyelidikan lebih lanjut. Hukuman itu bahkan dapat menjadi modus untuk melindungi keterlibatan pihak-pihak tertentu.

“Yang bersangkutan tidak lagi dapat dimintai keterangan dan informasi terkait faktor-faktor dan orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut. Bukan tidak mungkin, hukuman mati dijatuhkan justru untuk melindungi oknum-oknum tertentu di balik kasus yang menimpa terhukum mati,” ujarnya.

Hal lain, menurut Jeirry, konsekuensi dari diratifikasinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maka negara semestinya tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati.

Sebabnya, dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 pada 28 I ayat (1) bahwa “hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

“Jadi Pasal 28 I ayat 1 ni menegaskan bahwa konstitusi kita tak lagi mengizinkan terjadinya praktek hukuman mati dalam negara kita,” tegas Jeirry.

Karena itu, untuk menghindari lebih lanjut munculnya eksekusi hukuman mati, terutama menyangkut kasus-kasus narkoba, PGI kembali meminta Presiden untuk lebih serius dalam memimpin penegakan hukum secara menyeluruh dan perbaikan sistem dan budaya hukum.

“Pembenahan aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian, lembaga peradilan dan kejaksaan merupakan hal yang penting untuk diprioritaskan,” ujarnya.

Aspek yang penting diperhatikan dalam rangka pembenahan ini, aparat penegak hukum harus lebih bijak dan peka terhadap masukan masyarakat dan kesaksian para terpidana.

“Masukan dan kesaksian yang kini banyak terungkap, harus menjadi alat untuk melakukan pembenahan dan perbaikan lembaga itu secara internal, bukan malah menjadi alat kriminalisasi,” kata Jeirry.

Ia menambahkan bahwa PGI mencatat eksekusi terhadap empat terpidana mati kasus Narkoba pada 29 Juli 2016 lalu adalah eksekusi mati ketiga di masa pemerintahan Jokowi. Sebelumnya, praktik serupa terjadi pada 29 April 2015 (4 orang) dan 18 Januari 2015 (6 orang).

PGI, kata Jeirry sudah melayangkan surat kepada Presiden setelah eksekusi jilid 3 dilaksanakan. Surat senada juga disampaikan pada 5 Maret 2015 menjelang eksekusi jilid 2.

sumber :
indeksberita.com
pgi.or.id

Please login to post a comment.